BIOTEKNOLOGI MILITER
Bioteknologi berasal dari kata Bio (hidup) dan Teknos (teknologi) yang berarti ilmu yang menerapkan prinsip-prinsip biologi Bioteknologi merupakan pemanfaatan sistem kehidupan dan organisme untuk mengembangkan dan menciptakan produk baru untuk menghasilkan atau memodifikasi produk atau proses dengan tujuan memperoleh produk yang lebih baik dari segi kualitas maupun kuantitas serta singkat dalam waktu produksi.
Dalam bidang militer digunakan senjata biologis dengan bantuan bioteknologi menggunakan agen hayati. Penyalahgunaan senjata biologis oleh oknum tertentu dinamakan bioterorisme.
Bioterorisme didefinisikan sebagai pemanfaatan mikroorganisme patogen sebagai senjata perang dan alat untuk menjalankan aksi terorisme. Beberapa mikroba yang diketahui telah dimanfaatkan sebagai senjata biologi dalam perang antara lain Bacillus antracis, Pes, Cholera, dan Botulinum. Senjata biologi tersebut hanya dapat dikembangkan oleh beberapa negara yang memiliki laboratorium mikrobiologi yang canggih.
Serangan Bioterorisme Di Berbagai Negara Di Dunia
Setiap
bentuk serangan yang dilakukan dalam bioterorisme ini bertujuan untuk
menyebarkan kepanikan dengan menciptakan wabah penyakit yang meresahkan
masyarakat luas. Dengan adanya wabah penyakit atau racun yang muncul secara
tibatiba dan menyebar dengan sangat luas yang menyebabkan pemerintah tidak siap
menanganinya, sehingga dapat melemahkan dukungan masyarakat kepada pemerintah,
karena pemerintah dianggap tidak bisa memberikan perlindungan bagi masyarakat.
Senjata biologi adalah senjata yang menggunakan mikroorganisme patogen (bakteri, virus, atau organisme penghasil penyakit lainnya) sebagai alat untuk membunuh, melukai, atau melumpuhkan musuh. Dalam pengertian yang lebih luas, senjata biologi tidak hanya berupa organisme patogen, tetapi juga toksin berbahaya yang dihasilkan oleh organisme tertentu.
Menurut Direktorat Jenderal Pertahanan Kementerian Republik Indonesia, senjata biologi adalah senjata yang menggunakan patogen (bakteri, virus, atau organisme penghasil penyakit lainnya) sebagai alat untuk membunuh, melukai, atau melumpuhkan musuh. Menurut Elisabeth (2007), bioterorisme merupakan salah satu bentuk teror dengan menggunakan atau menyebarkan kejahatan biologis, seperti virus dan bakteri, sehingga menimbulkan penyakit atau kematian manusia, hewan, atau tanaman.
Pada prinsipnya, semua bahan hayati yang bersifat pathogen penyebab penyakit dapat dijadikan senjata biologi namun Kementrian kesehatan saat ini mencatat sedikitnya ada sembilan penyakit menular yang potensial digunakan sebagai senjata biologi; yaitu Antraks, Poliomyelitis, Kholera, Demam Tifoid, Tuberkulosis, Flu burung, SARS, Pes paru, dan Cacar.
Dr. Arief B. Witarto dalam artikel yang berjudul “Bahaya Senjata Biologis” menuliskan bahwa berbeda dengan senjata nuklir, senjata biologis punya banyak jenis. Walaupun senjata kimia juga memiliki banyak jenis (seperti gas Sarin, gas VX, Sianida dan sebagainya), namun karena senjata biologis menggunakan agen hayati seperti virus dan bakteri, jumlahnya cenderung bertambah dengan munculnya berbagai macam penyakit infeksi fatal seperti virus Ebola, virus Lassa dan lain-lain. Namun, agen yang dipakai sebagai senjata biologis adalah bakteri yang telah lama dikenal manusia, hal ini dikarenakan mudah didapatkan di alam dan tidak sulit penangannya (Witarto, 2002).
Ebola
dapat menyebabkan kerusakan massal karenanya, disebut juga sebagai salah satu
kekuatan senjata biologis. Ebola dapat menyebar melalui kontak dengan cairan
tubuh yang terinfeksi, termasuk tempat tidur dan pakaian yang “terkontaminasi”
dengan cairan tersebut. Menurut WHO tingkat kematian rata-rata dari Ebola
diklasifikasikan sebanyak 50% dan bisa naik sampai 90% jika tanpa perawatan
medis. Amerika Serikat (AS) menjadikan virus Ebola sebagai prioritas keamanan nasionalnya
disebabkan karena AS ingin mencegah penggunaan virus Ebola tersebut sebagai
senjata bioterorisme.
Antraks yang disebabkan
oleh bakteri Bacillus anthracis merupakan penyakit zoonosis yang memiliki daya
rusak tinggi dan mematikan berbagai ternak (sapi, kerbau, domba kambing, dan
burung unta) maupun manusia.
Bakteri ini memiliki bentuk yang mirip rantai dengan ujung
persegi, termasuk kedalam bakteri gram positif dengan ukuran 1-1,5 x 3-5 mikrometer,
bersifat anaerob (tahan terhadap keadaan tanpa oksigen) dan memiliki spora.
Spora inilah yang membuat bakteri ini
bisa bertahan dalam lingkungan yang ekstrim sekalipun, bakteri ini dapat
bertahan hidup di dalam air selama dua tahun, di dalam susu selama 10 tahun dan
lebih dari 70 tahun pada benang wool. Spora ini juga tetap bertahan walau dalam
kondisi yang kering, lembab, panas tinggi maupun dingin yang rendah, bahkan di
dalam tanah, spora antraks akan bertahan hidup sampai 40 tahun lamanya (Parker L,
2013).
Senjata
biologis bakteri antraks memiliki daya pengahancur yang bersifat masal dan
berefek dalam jangka waktu lama karena bakteri antraks menghasilkan spora yang
tahan panas ± > 70o C, sinar ultra
violet, desinfektan, dan cekaman lingkungan lainnya (Alibek, 2005). Kelompok
yang paling berisiko dan rentan untuk menyalahgunakan bakteri antraks sebagai
senjata biologis adalah kelompok teroris, staf atau teknisi di laboratorium
yang memiliki isolat antraks.
Flu Spanyol adalah
pandemi yang sangat sangat mematikan yang disebabkan oleh virus influenza A
subtipe H1N1. Virus ini menjangkiti sekitar 500 juta orang (sepertiga dari
populasi dunia pada saat itu) dalam empat gelombang berturut-turut dari
Februari 1918 hingga April 1920. Korban meninggal diperkirakan antara 17 juta
dan 50 juta jiwa, dan mungkin mencapai 100 juta jiwa, sehingga pandemi ini
menjadi salah satu pandemi yang sangat mematikan dalam sejarah umat manusia.
Gejala
flu spanyol dimulai dengan rasa panas seperti terbakar di kepala. Kemudian
terjadi radang sampai merah membara di mata dan organ bagian dalam seperti
tenggorokan atau lidah. Radang itu sampai berdarah dan mengeluarkan bau busuk
yang tidak alami kemudian menderita bersin dan batuk, diikuti dengan diare,
muntah-muntah dan sekujur tubuh kejang. Kulit penderita menjadi pucat dan
penuhi benjolan serta bisul. Tenggorokan terasa seperti terbakar dan penderita
terus menerus merasa haus. Ketika penyakit sampai ke bagian pencernaan ditandai
dengan luka lambung dan diare yang parah ditambah dengan daya tahan tubuh yang
rentan, dan berakhir dengan kematian
- Biaya produksi relatif murah dibandingkan senjata penghancur lainnya
- Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan agen biologi cukup sederhana
- Waktu yang diperlukan dalam pembuatannya relatif lebih pendek.
- Dapat dibuat vaksin atau penawar dari senjata biologi yang telah diciptakan Penyebarannya tidak terdeteksi oleh musuh
- Penggunaannya tidak merusak infrastruktur atau fasilitas yang ada dalam daerah yang diserang
- Perlunya perhitungan cuaca atau kondisi yang tepat untuk melakukan penyebaran senjata biologis tersebut
- Jika tidak dilengkapai dengan berbagai alat pelindung berisiko terinfeksi agen biologi yang digunakan sebagai senjata
- Beberapa jenis senjata biologi diketahui rentan terhadap radiasi matahari maupun perubahan cuaca sehingga agen biologi dapat terinaktivasi dan tidak dapat berfungsi dengan baik
- Beberapa agen biologi dapat bertahan lama di lingkungan (seperti spora Bacillus anthracis) sehingga daerah yang telah diinfeksi tidak dapat dihuni/ditinggali dalam jangka waktu yang cukup lama.
Alibek K, Lobanova C and Popov S. 2005. Bioterrorism and Infectious Agents. USA: Springer Science Business Media.
Cfsph. 2007. Anthrax. Iowa State University. The Center of Food Security and Public Health.
Elisabeth, Adrianna. 2007. Dinamika Hubungan Australia-Asia Timur (1997-2005) dalam LIPI (Ed.) Jurnal Penelitian Politik Vol. 4, No. 1, 2007 editor. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. (pp. 87-92).
Hagstad, David dan Kathleen Kearney. 2000. Emergency: BioterrorismThe American Journal Of Nursing. Vol. 100 (12). pp. 33-35. Lippincot Williams and Wilkins: JSTOR.
Koesnandar, Is Helianti. 2008. Isu Bioetika dalam Riset dan Industrialisasi Sumber Daya Genetik Mikroba. SeminarBioetika Nasional 29 Mei 2008. BPPT Bogor.
Parker L. 2013. Bioterrorism and intelligence. Global Security Studies 4: 53-64.
Witarto, AB. 2002. Bioinformatika Teknologi Informasi dengan Bioteknologi. Jakarta: Ilmu Komputer.
Zulfikar K. M. 2017. Virus Ebola di Afrika Barat sebagai Ancaman. Jurnal Analisis Hubungan Internasional. Hal. 163-180
Tidak ada komentar:
Posting Komentar